---------- Selamat Datang ---------- Welkom ---------- Welcome ---------- Bienvenue ---------- Willkommen ---------- Aloha Mai ---------- Swaagatam ---------- Velkomin ---------- Benvenuto ---------- Wëllkomm ---------- Ulo Kumyn Denen Zhyna ---------- Dobro Pozhalovat' ---------- Bienvenidos ---------- Wilujeng Sumping ---------- Yin Dee ---------- Hosh Keldingiz ---------- Irashaimasu ---------- Sugeng Rawuh ---------- Pari Yegak ----------

Wednesday, February 24, 2010

Pemilihan KaHim Menjadi Cermin Keburukan Bersama

*Originally Written : 06.07.2009

Saat ini kampus HI UB bukan lagi sekedar tempat untuk belajar. Daya pesonanya bukan hanya di dalam kelas, tapi menjalar ke luar. Sampai-sampai ada yang mengaitkan kampus dengan politik sehingga muncul idiom “kampus” politik. Atau politik kampus?. Saat ini hal itu kian identik di kampus ini (di kampus tempat belajar tentunya). Bagaimana bentuk elaborasi politik di Kampus ini? Berikut opini saya…

Keadaan di kampus HI tercinta ini kian menarik untuk dielaborasi seiring dengan hajatan terbesar politik (di kampus saya ini maksudnya) tahun ini, (walaupun tidak seheboh tragedi politik sebelumnya — nanti saya jelaskan kemudian — ) yaitu Pemilihan Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional Universitas Brawijaya yang pertama (atau yang kedua? kata mereka sii yang pertama,karena yang pertama dianggap gagal). Gara-gara hajatan ini semua jadi sibuk dan serba heboh (saya pun ikut heboh, karena bingung apa yang dihebohin). Karena banyaknya kepentingan yang ada (segitu banyaknya sampai bingung,itu penting apa enggak sii?).

Karena itu kekacauan yang terjadi dalam Pemilihan besok adalah cerminan dari kehidupan politik, bukan cerminan dari kehidupan akademik yang seharusnya dinamis dan demokratis (halah…).

Bagaimana tidak, mereka yang sudah bekerja keras dalam merumuskan himpunan ini dibuat kelabakan gara-gara secara tiba-tiba muncul Surat Keputusan (yang tidak bertanda tangan,menurut hukum sii tidak sah –tapi siapa gue geetoohh–, apalagi cuma dkirim via email terhadap 2 orang mahasiswa saja, sedangkan yang mengirim entah dimana), inti dari SK tersebut adalah angkatan 2008 yang seharusnya tidak mempunyai Hak Suara (hak dipilih dan memilih), tiba-tiba mempunyai hak suara dan berhak menjadi Ketua. Suara angkatan 2008 pun menjadi suara ambang atau justru bisa dikatakan liar yang bisa dengan mudah ditunggangi pihak tertentu. Dan Pemilihan harus dilaksanakan segera besok pukul 15.00 WIB! H-1 dunk!

Woow! Mungkin inilah himpunan paling fenomenal yang pernah saya kenal, dimana pihak kampus dengan otoritasnya tiba-tiba mencampuri urusan mahasiswa dan harus dituruti. Yang lebih lucu lagi, kalau nantinya ada yang gak beres, himpunan akan dianggap gagagl dan (mungkin) sekali (atau dua kali) lagi harus dibentuk ulang, atau bahkan dibuat sistem organisasi semodel dewan angkatan. Ironisnya semua hal yang berhubungan dengan kegiatan mahasiswa akan berada dalam kontrol kampus. Hmm….sama aja flashback ke jaman 60-an nii… Beginilah jadinya apabila pihak yang tidak paham dengan bidangnya mulai turun tangan. Mungkin suatu saat nanti disinilah tempat pertama dimana ketika dosen masuk kelas tapi yang ngajar malah mahasiswanya, biar sekalian aja semuanya serba kebalik. Cuma disini aja, yang himpunan mahasiswanya bisa dibuat sampai 2 kali dalam setahun demi mencocokkan dengan keinginan kampus, mungki nanti malah bisa jadi tiga kali. Dude, dont you think this is totally absurd?! Its like a circus..

Hmph, entah dimana letak kesalahannya. Silakan mengecam para mahasiswa angkatan 2007, atau para founding fathers himpunan yang sebelumnya. Silakan memberi sanksi lagi kepada saya (apa ada lagi yang lebih berat?). Tapi, sebenarnya semua yang terjadi itu merupakan cerminan dari praksis politik dalam kampus yang penuh dengan malum (hal buruk). Tapi betulkah kesalahan ditimpakan kepada Angkatan 2007 atau saya dan kawan-kawan? Atau ada sesuatu yang tidak berjalan sebagaimana mestinya? Sebenarnya saya dan teman-teman sudah sering mengaspirasikan keinginannya. Ada konflik kepentingan yang digawangi salah satu mahasiswa HI UB 2007 yang gila kekuasaan, atau segelintir pihak kampus yang terlalu jauh mengintervensi. Tapi apa lacur, itu semua hany menjadi penghangat telinga saja, bahkan sanksi berat langsung menyambut.

Para politisi (entah yang mana) hanya menjadikan politik atau hal ini sebagai ajang malum commune atau keburukan bersama. Padahal, politik seharusnya bertujuan demi bonum commune atau kesejahteraan bersama, ya kalau tujuannya tidak baik kenapa hal tersebut mesti ada dalam mata kuliah yang wajib dipelajari. Mungkin mereka terlalu banyak nonton liga sepakbola di negara kita yang serba ruwet yang kita tahu selama ini memiliki sisi yang unik dan lucu, karena ada yang gigih menjatuhkan hukuman terhadap yang salah tapi ada juga yang selalu bertindak ‘bijaksana’ mengurangi atau bahkan menghapus hukuman, atau ada yang salah tapi dibenarkan begitu juga sebaliknya. Atau juga mereka terlarut terlampau dalam terhadap suasana PilPres di negara kita yang selalu ruwet dengan DPT-nya sehingga mau ikut-ikutan menerapkannya di dalam lingkup yang lebih kecil yaitu di kampus.

Tentu sudah sepantasnya mana kala keburukan bersama dalam dunia politik itu akhirnya menjalar kemana-mana, termasuk ke dunia akademik. Politik memang punya pengaruh sangat besar terhadap banyak bidang diluar politik.

Keburukan atau malum dalam pemilihan kahim kali ini seharusnya bisa dihindari sejak awal kalau mereka-mereka yang berkuasa di kampus para birokrat bisa bijaksana atau minimal menghargai kesepakatan yang sudah dibuat, atau setidaknya apa yang sudah pernah dilontarkannya. Angkatan 2007 pun terpaksa menyetujui Surat Keputusan tersebut. Keputusan dalam mengeluarkan SK tersebut jelas menunjukkan para birokrat kampus kita tidak punya visi untuk menciptakan bonum commune atau kebaikan bersama. Mereka selalu menguntungkan beberapa pihak (mahasiswa) yang penurut dan dekat dengan mereka.

Kondisi ini mirip sebuah pertandingan derby dalam sepakbola antara tim sekota atau yang saling berdekatan. Sudah penuh perang urat syaraf dan segala macam bentuk kampanye hitam atau propaganda buruk.

Semua cara propaganda sebenarnya sah-sah saja, sejauh tidak menggunakan kekerasan atau black campaign dengan menyebut sentimen agama ras (SARA). Tetapi ada satu point sederhana dalam SK tersebut, yakni soal batas minimal IPK untuk menjadi Ketua dan Pengurus yang sama rata dan terlampau tinggi (bahkan untuk menjadi Duta Asean saja tidak setinggi itu), yang secara tidak langsung justru membatasi hak-hak politik pihak-pihak tertentu dan lebih mengarah terhadap suatu golongan yang dekat dengan mereka. Apa ini bukan bentuk dari diskriminasi? Mungking itulah salah satu cara mereka dalam mengkomunikasikan tujuan politik mereka. Pakar komunikasi politik Amerika, Harold Laswell, mengungkapkan propaganda adalah diseminasi informasi secara sistematis dan terus menerus guna mengubah pandangan, sikap, dan emosi lawan supaya akhirnya berpihak kepada pihak penyampai propaganda.

Tidak Siap Kalah

Dari kasus ini, menunjukkan bahwa mereka masih menjiwai kultur kebudayaan kita yaitu tidak siap kalah. Sehingga mereka harus menggunakan berbagai macam cara baik yang tidak baik sekalipun untuk mencapai tujuan politik tersebut. Sejak zaman Singasari sampai Orde Baru, beragam intrik atau pembunuhan lawan poltik selalu terjadi (entah HI UB ada zaman yang mana?). Demikian halnya di kampus ini.

Kampus seharusnya menjadi tempat untuk belajar, bukan tempat untuk mempraktekkan hasil dari pembelajaran itu sendiri. Karena itu birokrat kampus harusnya mempunyai visi yang benar tentang bagaimana mendidik mahasiswa. Visi yang tidak benar hanya akan menjadikan tempat ini sebagai alat untuk melanggengkan sesuatu hal atau tujuan dan kepentingan-kepentingan tertentu.

Dalam sikon seperti ini harusnya mereka belajar terhadap Liem Swie King, legenda olahraga kita yang buku dan filmnya tengah hangat menjadi buah bibir. King sudah kenyang asam garam sehingga bisa menerima kekalahan dan kemenangan dengan bijak, yang seandainya mereka mau meniru, HI UB jelas akan lebih baik. Situasinya nyaman, belajar pun enak. Berteman enak. Politiknya pun baik. Ujung-ujungnya HI UB Jaya!

Marilah sejenak kita renungkan bersama apa yang sebenarnya terjadi jangan hanya mengedepankan ego semata demi masa depan yang jauh lebih baik untuk HI. Satu pesan yang jelas dari saya adalah, sejarah dimana mereka membubarkan himpunan karena dianggap membangkang dan tak sejalan dengan keinginan mereka, tidak akan pernah bisa dihapus, karena sejarah tak akan pernah bisa berubah, dan akan terus tetap dikenang bersama semangat yang ada.

Salam.

No comments:

Post a Comment